Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam konsep dualitas ma'rifah (definit) dan nakirah (indefinit) dalam kerangka ilmu nahwu (sintaksis Arab). Klasifikasi ini merupakan salah satu pilar fundamental dalam analisis gramatikal bahasa Arab yang memengaruhi struktur kalimat, i'rab, dan interpretasi makna. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analitis berdasarkan sumber-sumber dari kitab nahwu klasik, artikel ini akan menguraikan definisi, karakteristik, dan jenis-jenis dari kedua kategori isim tersebut. Lebih lanjut, pembahasan akan difokuskan pada hierarki atau tingkatan definiteness (maratib al-ma'arif) yang ada dalam kategori ma'rifah, dan diakhiri dengan analisis terhadap signifikansi lafaz "Allah" sebagai A'raf al-Ma'arif (yang paling definit di antara semua yang definit), sebagaimana ditegaskan oleh Imam Sibawaih. Kajian ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap konsep ma'rifah dan nakirah tidak hanya bersifat teknis-gramatikal, tetapi juga memiliki dimensi epistemologis dan teologis dalam tradisi linguistik Arab-Islam.
Kata Kunci: Ma'rifah, Nakirah, Ilmu Nahwu, Isim, Maratib al-Ma'arif, A'raf al-Ma'arif, Sibawaih, Sintaksis Arab.
1. Pendahuluan
Dalam struktur bahasa Arab, isim (kata benda/nomina) menempati posisi sentral. Untuk memahami fungsinya secara utuh, para ahli nahwu (nuhat) sejak era klasik telah mengklasifikasikannya ke dalam berbagai kategori. Salah satu klasifikasi paling mendasar adalah pembagian isim berdasarkan tingkat kejelasannya, yaitu menjadi nakirah (indefinit) dan ma'rifah (definit). Perbedaan ini bukan sekadar kategorisasi, melainkan sebuah konsep yang memiliki implikasi langsung terhadap analisis sintaksis (i'rab) dan semantik (dilalah) sebuah kalimat.
Sebuah isim dianggap nakirah ketika ia merujuk pada sesuatu yang umum dan tidak spesifik dalam jenisnya, sementara isim ma'rifah merujuk pada sesuatu yang sudah tertentu, spesifik, dan diketahui oleh pembicara maupun pendengar. Artikel ini akan mengkaji konsep ini secara sistematis, mulai dari definisi dan ciri-cirinya, jenis-jenis isim ma'rifah beserta tingkatannya, hingga puncak pembahasan tentang status lafaz "Allah" dalam hierarki tersebut berdasarkan pandangan Sibawaih, Bapak Ilmu Nahwu.
2. Pembahasan
2.1. Isim Nakirah (Indefinit)
Secara terminologis, isim nakirah (النكرة) didefinisikan sebagai:
اسمٌ يَدُلُّ عَلى شَيْءٍ غَيْرِ مُعَيَّنٍ
"Isim yang menunjukkan pada sesuatu yang tidak tertentu."
Ia merujuk pada satu anggota dari sebuah genus tanpa menunjuk pada individu yang spesifik. Misalnya, kata رَجُلٌ (rajulun) berarti "seorang laki-laki", bisa merujuk pada laki-laki mana pun, bukan laki-laki tertentu yang sudah diketahui.
Ciri-ciri Isim Nakirah:
- Menerima Tanwin: Ciri yang paling umum adalah kemampuannya menerima tanwin, yang sering kali menjadi penanda ketidaktentuan. Contoh: بَيْتٌ (sebuah rumah), كِتَابٌ (sebuah buku).
- Dapat Didahului Partikel رُبَّ: Partikel رُبَّ (rubba, berarti "betapa banyak" atau "terkadang") hanya bisa masuk pada isim nakirah. Contoh: رُبَّ رَجُلٍ كَرِيْمٍ لَقِيْتُهُ (Betapa banyak lelaki mulia yang kutemui).
2.2. Isim Ma'rifah (Definit)
Sebaliknya, isim ma'rifah (المعرفة) adalah:
اسمٌ يَدُلُّ عَلى شَيْءٍ مُعَيَّنٍ
"Isim yang menunjukkan pada sesuatu yang tertentu."
Referen atau hal yang dirujuk oleh isim ma'rifah sudah jelas dan spesifik dalam benak pembicara dan pendengar. Sebuah isim menjadi ma'rifah karena salah satu dari beberapa sebab. Para ahli nahwu mengklasifikasikannya menjadi beberapa jenis, yang sekaligus menunjukkan tingkatan atau hierarki definiteness (maratib al-ma'arif).
2.3. Jenis dan Tingkatan Isim Ma'rifah
Berikut adalah jenis-jenis isim ma'rifah yang diurutkan dari yang paling definit hingga yang paling rendah tingkatannya:
- Ad-Dhamir (الضمير - Pronomina): Dianggap sebagai yang paling ma'rifah karena merujuk langsung pada partisipan dalam percakapan (mutakallim - orang pertama, mukhatab - orang kedua) atau pihak ketiga yang sudah diketahui (ghaib). Contoh: أَنَا (saya), أَنْتَ (kamu), هُوَ (dia).
- Al-'Alam (العَلَم - Nama Diri): Merujuk pada nama spesifik dari seseorang, tempat, atau benda. Contoh: مُحَمَّدٌ (Muhammad), مَكَّةُ (Makkah).
- Ism al-Isyarah (اسم الإشارة - Kata Tunjuk): Menjadi definit karena ia menunjuk secara langsung (baik fisik maupun konseptual) pada sesuatu. Contoh: هَذَا (ini), تِلْكَ (itu).
- Ism al-Mawshul (الاسم الموصول - Kata Sambung): Menjadi definit melalui klausa penjelas (shilah) yang mengikutinya. Tanpa shilah, ia bersifat ambigu. Contoh: الَّذِي جَاءَ (Orang yang telah datang itu).
- Al-Mu'arraf bi-Al (المعرَّف بـ ال - Isim yang Diawali Alif-Lam): Ini adalah cara paling umum untuk mengubah isim nakirah menjadi ma'rifah. ال memberikan status definit pada kata tersebut. Contoh: كِتَابٌ (sebuah buku) menjadi الْكِتَابُ (buku itu).
- Al-Mudhaf ila Ma'rifah (المضاف إلى معرفة - Isim yang Disandarkan): Sebuah isim nakirah menjadi ma'rifah ketika disandarkan (dijadikan mudhaf) kepada salah satu dari lima jenis ma'rifah di atas. Tingkat kema'rifahannya bergantung pada tingkat kema'rifahan mudhaf ilaih-nya. Contoh: كِتَابُ مُحَمَّدٍ (buku milik Muhammad).
2.4. Puncak Kema'rifahan: Lafaz "Allah" sebagai A'raf al-Ma'arif
Dalam tradisi intelektual Islam, gramatika tidak pernah terpisah dari teologi. Puncak dari pembahasan hierarki ma'rifah ini terilustrasikan dengan sempurna dalam sebuah kisah masyhur tentang Imam Sibawaih (w. 180 H), yang dianggap sebagai peletak dasar ilmu nahwu yang sistematis.
Dikisahkan dalam kitab Mawahib al-Jalil 1/11:
«وحكى ابن جني أن سيبويه رئي بعد موته فقيل له: ما فعل الله بك؟ فقال: خيرا، وذكر كرامة عظيمة، فقيل له: بم؟ فقال: لقولي: إن اسم الله أعرف المعارف وهو اسم جامع لمعاني الأسماء الحسنى كلها وما سواه خاص بمعنى فلذا يضاف الله لجميع الأسماء»
"Ibnu Jinnī meriwayatkan bahwa Sībawayh pernah dilihat setelah wafatnya. Lalu dikatakan kepadanya: 'Apa yang telah Allah lakukan terhadapmu?' Ia menjawab: 'Kebaikan.' Dan ia menyebutkan suatu karamah (kemuliaan) yang agung. Maka ditanyakan kepadanya: 'Dengan sebab apa?' Ia menjawab: 'Karena ucapanku: Sesungguhnya nama Allah adalah kata ma‘rifah yang paling ma‘rifah (a‘raf al-ma‘ārif), dan itu adalah nama yang mencakup seluruh makna dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā’ al-ḥusnā) secara keseluruhan. Adapun selainnya adalah khusus pada satu makna tertentu. Oleh karena itu, semua nama (yang lain) dinisbatkan kepada Allah.'"
Jadi pernyataan Sibawaih :
أَعْرَفُ الْمَعَارِفِ هُوَ اللهُ
A'raf al-Ma'arif huwa Allah
"Yang paling ma'rifah di antara segala yang ma'rifah adalah (nama) Allah."
memiliki signifikansi yang luar biasa, baik secara linguistik maupun teologis:
- Secara Linguistik: Nama "Allah" adalah ism 'alam yang paling unik. Ia merujuk pada satu Dzat yang Esa, yang tidak ada duanya. Tidak seperti nama manusia yang bisa dimiliki banyak orang, lafaz "Allah" hanya memiliki satu referen mutlak yang dipahami secara universal dalam konteksnya. Ia tidak memiliki bentuk jamak, tidak memiliki bentuk feminin, dan tingkat kejelasannya melampaui semua nama diri lainnya.
- Secara Teologis: Pernyataan ini mencerminkan esensi tauhid. Allah adalah Dzat Yang Paling Nyata, Paling Diketahui, dan menjadi sumber dari segala pengetahuan. Jika semua isim ma'rifah merujuk pada sesuatu yang "diketahui", maka Allah adalah sumber dari segala pengetahuan itu sendiri. Dengan demikian, nama-Nya menempati puncak tertinggi dalam hierarki kejelasan linguistik.
Kisah Sibawaih ini menunjukkan betapa dalamnya para ahli bahasa klasik memahami bahwa struktur bahasa pada akhirnya berlabuh pada struktur realitas dan keyakinan.
Sumber-sumber rujukan yang memuat kisah ini, antara lain:
- al-Lubāb fī ‘Ulūm al-Kitāb, karya Ibn ‘Ādil, tahqiq: ‘Ādil Aḥmad ‘Abd al-Mawjūd dan ‘Alī Muḥammad Mu‘awwaḍ, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon, 1419 H / 1998 M, cet. 1, juz 1, hlm. 138.
- Fatḥ Rabb al-Bariyyah fī Syarḥ Naẓm al-Ājurrūmiyyah, karya Ibn Musā‘id al-Ḥāzmī, Maktabah al-Asadī, Makkah, cet. 1, 1431 H / 2010 M, juz 1, hlm. 427.
- Nihāyat al-Muḥtāj ilā Syarḥ al-Minhāj, karya Syamsuddīn ar-Ramlī (terkenal dengan sebutan asy-Syāfi‘ī aṣ-Ṣaghīr), Dār al-Fikr, Beirut, 1404 H / 1984 M, juz 1, hlm. 21.
- Taysīr al-‘Azīz al-Ḥamīd fī Syarḥ Kitāb at-Tawḥīd, karya Sulaimān bin ‘Abdullāh Āl asy-Syaikh, tahqiq: Zuhair asy-Syāwīsy, al-Maktab al-Islāmī, Beirut–Damaskus, cet. 1, 1423 H / 2002 M, juz 1, hlm. 13.
- Dan lainnya.
3. Kesimpulan
Konsep ma'rifah dan nakirah adalah pilar fundamental dalam sintaksis Arab yang mengatur kejelasan referen dalam sebuah kalimat. Pemahaman ini krusial untuk analisis i'rab, penafsiran, dan pemahaman yang akurat terhadap teks-teks Arab, terutama Al-Qur'an. Lebih dari sekadar klasifikasi teknis, hierarki ma'rifah menunjukkan adanya tingkatan definiteness, di mana pronomina (dhamir) menempati posisi puncak dalam konteks komunikasi.
Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh Imam Sibawaih, terdapat satu nama yang melampaui semua tingkatan tersebut: lafaz "Allah". Penegasannya bahwa "Allah" adalah A'raf al-Ma'arif menjadi bukti pertautan yang erat antara analisis linguistik dan pandangan dunia tauhid dalam peradaban Islam, di mana Dzat Tuhan menjadi titik referensi tertinggi, baik dalam wujud maupun dalam bahasa.
Daftar Pustaka
- Sibawaih, Abu Bishr Amr ibn Uthman. Al-Kitab. Tahqiq: Abdussalam Muhammad Harun. Maktabah Al-Khanji.
- Al-Mubarrad, Abu al-Abbas Muhammad ibn Yazid. Al-Muqtadab. Tahqiq: Muhammad Abdul Khaliq 'Udaymah.
- Ibn Jinni, Abu al-Fath Uthman. Al-Khasa'is. Al-Hay'ah Al-Mishriyyah Al-'Ammah lil-Kitab.
- As-Suyuthi, Jalaluddin. Hama' al-Hawami' fi Syarh Jam' al-Jawami'. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
- Hasan, Abbas. An-Nahwu al-Wafi. Dar al-Ma'arif.
Apa itu Ma'rifah dan Nakirah?