Abstrak
Jawāmi‘ al-Kalim (جوامع الكلم) merupakan salah satu bentuk tertinggi dari keindahan linguistik dan kemukjizatan semantik Al-Qur’an. Konsep ini menggambarkan kata atau ungkapan yang mengandung makna yang luas dan kompleks, di mana setiap unsur makna merupakan bagian yang saling melengkapi untuk membentuk makna keseluruhan. Artikel ini menguraikan konsep Jawāmi‘ al-Kalim sebagai salah satu wujud ittisā‘ al-dalālah (اتساع الدلالة) atau keluasan makna dalam Al-Qur’an, dengan menganalisis beberapa contoh kata Qur’ani seperti مؤمن (QS. Yūsuf [12]:17), تستأنسوا (QS. An-Nūr [24]:27), يفرقون (QS. At-Tawbah [9]:56), dan لولّوا (QS. At-Tawbah [9]:57). Melalui analisis ini ditunjukkan bahwa keluasan makna Al-Qur’an tidak terletak pada penumpukan makna-makna berbeda, melainkan pada kedalaman makna tunggal yang mencakup unsur-unsur semantik yang saling berpadu secara harmonis.
Pendahuluan
Istilah Jawāmi‘ al-Kalim secara bahasa berarti “ungkapan yang menghimpun banyak makna.” Dalam konteks linguistik Al-Qur’an, konsep ini mengacu pada kata atau frasa yang memuat beberapa unsur makna yang saling melengkapi, sehingga menghasilkan satu makna komprehensif yang tidak dapat tergantikan oleh sinonimnya.
Berbeda dengan al-musytarak al-lafẓī (اللفظ المشترك) yang mengandung makna-makna berganda, atau al-mutawāṭi’ (المتواطئ) yang menunjukkan makna umum bagi banyak individu, Jawāmi‘ al-Kalim menunjukkan makna majemuk (composite meaning) — yakni makna yang lahir dari integrasi beberapa unsur semantik menjadi satu kesatuan makna tunggal.
Sebagaimana disebutkan oleh para ulama, konsep ini merupakan salah satu bentuk tertinggi dari balāghah Qur’āniyyah (بلاغة قرآنية), karena memadukan antara ījāz (keindahan ringkas) dan ta‘mīq (kedalaman makna).
1. Lafaz مؤمن dan Struktur Makna Majemuk dalam QS. Yūsuf [12]:17
Allah ﷻ berfirman dalam kisah Nabi Yusuf:
{وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ}
(“Dan engkau sekali-kali tidak akan beriman kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.”)
Pemilihan kata مؤمن dalam ayat ini merupakan contoh yang sangat jelas dari Jawāmi‘ al-Kalim. Secara lahiriah, kata مؤمن dan مصدّق sama-sama menunjukkan makna “percaya” atau “membenarkan”. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir, penggunaan مؤمن di sini membawa makna yang lebih luas dan mendalam dibanding مصدّق.
Kata مؤمن mencakup unsur-unsur makna:
[مصدّق – موقن – مطمئن – راكن]
yakni: percaya (tasdīq), yakin (yaqīn), tenang (iṭmi’nān), dan bersandar (rukūn).
Sebagaimana disebutkan:
«الإيمان هو التصديق الذي معه أمْنٌ»
(“Iman adalah pembenaran yang disertai rasa aman dan tenang.”)
Dengan demikian, kata مؤمن tidak hanya bermakna “membenarkan secara intelektual,” tetapi juga “membenarkan dengan ketenangan batin dan penerimaan penuh.” Jika kata مصدّق digunakan, dimensi al-amn (ketenangan dan keyakinan batin) akan hilang.
Makna komposit seperti ini menunjukkan bagaimana satu lafaz Qur’ani dapat memuat lapisan semantik yang luas, tanpa memerlukan pengulangan atau penjelasan panjang.
2. Lafaz تستأنسوا dan Kehalusan Makna Sosial dalam QS. An-Nūr [24]:27–28
Firman Allah ﷻ:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا}
(“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum kalian ‘تستأنسوا’ dan memberi salam kepada penghuninya.”)
Kata تستأنسوا di sini memiliki keluasan makna yang luar biasa, yang tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh kata تستأذنوا (meminta izin), sebagaimana ditafsirkan oleh sebagian mufassir seperti al-Ṭabarī dan al-Ālūsī.
Menurut al-Zamakhsharī dalam al-Kasysyāf, kata تستأنسوا memiliki dua lapisan makna utama:
- الاستئناس بمعنى الاستئذان — meminta izin dengan rasa hormat dan sopan, di mana seseorang “merasa tenteram” setelah mendapatkan izin.
- الاستئناس بمعنى الاستعلام والاستكشاف — mencari tahu keadaan rumah, apakah kehadirannya diinginkan atau tidak, sehingga tidak mengganggu privasi penghuni rumah.
Selain itu, makna استئناس juga mencakup unsur الأنس (rasa nyaman, keakraban) dan زوال الوحشة (hilangnya rasa canggung atau asing). Oleh karena itu, kata ini tidak hanya mencakup tindakan “meminta izin,” tetapi juga menumbuhkan rasa tenteram dan hormat dalam interaksi sosial — nilai yang sangat sesuai dengan adab Islami.
Dengan demikian, makna kata تستأنسوا merupakan gabungan dari beberapa unsur: [استئذان – استعلام – أنس – زوال الوحشة]. Seluruhnya berpadu membentuk satu makna sosial yang lembut dan bermartabat.
Inilah yang dimaksud dengan Jawāmi‘ al-Kalim — satu lafaz yang mengandung makna majemuk, tidak berganti-ganti, tetapi menyatu secara semantik.
3. Lafaz يفرقون dan Lapisan Emosional dalam QS. At-Tawbah [9]:56
{وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ}
Kata يفرقون di sini mencakup makna yang kaya dan berlapis. Menurut al-Rāghib al-Aṣfahānī, akar kata ف ر ق menunjukkan تفرّق القلب من الخوف — “terpisahnya hati karena rasa takut,” sehingga melahirkan makna takut, gemetar, menjauh, dan melarikan diri.
Dengan demikian, lafaz ini mencakup beberapa unsur makna sekaligus: [خوف – هرب – مفارقة].
Kata يفرقون bukan hanya berarti “takut,” melainkan menggambarkan kondisi psikologis orang-orang munafik yang penuh ketakutan hingga menjauh dan berusaha menghindar dari kaum beriman, baik secara fisik maupun batin.
Inilah keindahan Jawāmi‘ al-Kalim — satu kata yang merangkum dinamika emosional yang kompleks dengan cara yang ringkas, namun dalam dan hidup.
4. Lafaz لولّوا dan Dimensi Gerak dalam QS. At-Tawbah [9]:57
{لَوْ يَجِدُونَ مَلْجَأً أَوْ مَغَارَاتٍ أَوْ مُدَّخَلًا لَوَلَّوْا إِلَيْهِ وَهُمْ يَجْمَحُونَ}
Kata لولّوا di sini juga termasuk dalam kategori Jawāmi‘ al-Kalim. Ia menggabungkan beberapa makna: berpaling, berlari, bersembunyi, dan mencari perlindungan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Abū Ḥayyān al-Andalusī dan Fakhr al-Rāzī, kata ini tidak sekadar berarti “berpaling,” tetapi menunjukkan gerakan panik dan spontan untuk menghindar, disertai unsur الإدبار والالتجاء والإسراع.
Maka, kata لولّوا memadukan unsur fisik (bergerak menjauh) dan psikologis (ketakutan dan pelarian diri), menghasilkan citra yang dinamis dan hidup. Satu kata mencakup keseluruhan adegan, sebagaimana ciri khas Jawāmi‘ al-Kalim dalam Al-Qur’an.
Kesimpulan
Dari berbagai contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa Jawāmi‘ al-Kalim merupakan bentuk tertinggi dari ittisā‘ al-dalālah (اتساع الدلالة) dalam bahasa Al-Qur’an. Ia bukanlah keluasan makna yang muncul karena ambiguitas, tetapi karena kompleksitas semantik yang terintegrasi.
Dalam kata مؤمن tergabung makna keimanan, keyakinan, dan ketenangan; dalam تستأنسوا tergabung makna izin, sopan santun, dan keakraban sosial; dalam يفرقون tergambar dinamika psikologis manusia yang takut; dan dalam لولّوا tergambar gerak tubuh dan jiwa sekaligus.
Semua ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak hanya mengandung makna yang luas, tetapi juga makna yang berlapis dan hidup, yang hanya dapat diungkap melalui kepekaan terhadap aspek linguistik dan retorisnya.
Sebagaimana dinyatakan oleh para ahli balāghah:
«البلاغة الإيجاز» — “Keindahan bahasa terletak pada keringkasan yang sarat makna.”
Maka, Jawāmi‘ al-Kalim menjadi salah satu bukti paling nyata dari kemukjizatan bahasa Al-Qur’an, di mana setiap lafaz bukan sekadar kata, tetapi dunia makna yang menyatu dalam harmoni ilahi.
Wallāhu a‘lam.
Sumber: Ittisā' al-Ma'nā fī al-Qur'ān al-Karīm ad-Dalālah al-Mu'jamiyyah Namūdhajan, oleh 'Abd al-Hamīd Hindāwī
https://tafsir.net/article/5416/
Jawāmi‘ al-Kalim dalam al-Quran