Skip ke Konten

Memahami Luasnya Makna al-Qur’an Melalui Konsep al-Musytarak al-Lafẓī

21 Oktober 2025 oleh
Memahami Luasnya Makna al-Qur’an Melalui Konsep al-Musytarak al-Lafẓī
Ahmad Ubaidillah
| Belum ada komentar

Abstrak

Fenomena al-musytarak al-lafẓī (المشترك اللفظي) merupakan salah satu bentuk keindahan dan keluasan makna dalam bahasa Arab, yang memberikan keragaman semantik dalam teks Al-Qur’an tanpa menimbulkan kontradiksi makna. Artikel ini membahas konsep al-musytarak al-lafẓī sebagai sarana perluasan makna (اتساع الدلالة) dalam Al-Qur’an, dengan menyoroti beberapa contoh penggunaan kata yang memiliki makna ganda, seperti عَسْعَسَ dalam QS. At-Takwīr [81]:17 dan قَسْوَرَة dalam QS. Al-Muddatsir [74]:51. Analisis ini menunjukkan bagaimana konteks (السياق) dalam Al-Qur’an mampu menampung berbagai makna dari satu lafaz tanpa pertentangan, sehingga memperkaya pemahaman terhadap pesan ilahi.


Pendahuluan

Bahasa Arab dikenal dengan kekayaan maknanya, yang memungkinkan satu kata memuat lebih dari satu pengertian tergantung pada konteks. Dalam ilmu uṣūl al-fiqh dan tafsir, fenomena ini disebut dengan istilah al-musytarak al-lafẓī (اللفظ المشترك). Secara terminologis, al-musytarak al-lafẓī didefinisikan sebagai:

«اللفظ المشترك: هو اللفظ الواحد الموضوع لعدّة معانٍ وضعًا أوّلًا»

“Lafaz musytarak adalah satu kata yang diletakkan (digunakan) untuk beberapa makna sejak awal penetapannya.”

Fenomena ini tidak hanya dikenal dalam bahasa Arab secara umum, tetapi juga terdapat dalam Kalamullah (al-Qur’an). Hal ini ditegaskan oleh para ahli bahasa yang menunjukkan adanya beberapa lafaz dalam Al-Qur’an yang memiliki makna ganda, tanpa menyebabkan ambiguitas dalam pesan ayat.


1. Keterjadian al-Musytarak al-Lafẓī dalam al-Qur’an

Para ulama menyepakati bahwa fenomena al-musytarak al-lafẓī terjadi pula dalam firman Allah. Di antara contohnya adalah firman Allah ﷻ:

{وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ}

(“Demi malam apabila telah ‘as‘asa”) — QS. At-Takwīr [81]: 17

Kata عَسْعَسَ di sini merupakan lafaz musytarak, yang dapat bermakna datangnya malam (إقبال الليل) maupun perginya malam (إدبار الليل) — dua makna yang secara literal berlawanan. Seperti yang disebut oleh penulis Ash-Shihah:

“فإنه مشترك بين إقبال الليل وإدباره وهما ضدان.”

Riwayat dari Mujāhid juga mendukung dua makna tersebut:

«عن مجاهد قوله: {وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ} قال: إقباله، ويقال: إدباره»

Dengan demikian, عَسْعَسَ menjadi contoh konkret dari perluasan makna dalam Al-Qur’an. Kedua makna itu — baik awal datangnya malam maupun akhirnya — sama-sama menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah ﷻ, karena keduanya menandai perubahan besar dalam peredaran alam. Maka tidak mengherankan bila Allah bersumpah dengan keduanya, sebab keduanya adalah waktu-waktu agung yang menunjukkan kekuasaan-Nya.

Lebih jauh, Rasulullah ﷺ sendiri memuliakan kedua waktu tersebut — saat datangnya malam dan saat fajar menjelang — dengan memperbanyak dzikir, salat, dan tasbih, sebagaimana dibuktikan dalam banyak hadis sahih.


2. Contoh Lain: Makna Ganda dalam Lafaz قَسْوَرَة

Fenomena al-musytarak al-lafẓī juga dapat ditemukan dalam firman Allah ﷻ:

{فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ}

(“Mereka lari dari قَسْوَرَة”) — QS. Al-Muddatsir [74]: 51

Dalam ayat ini, para mufassir berbeda pendapat mengenai makna قَسْوَرَة. Menurut Ibn Jarīr al-Ṭabarī, sebagian ulama menafsirkan kata ini sebagai الرماة (para pemanah), sementara sebagian lain menafsirkannya sebagai الأسد (singa).

Kedua makna tersebut dapat diterima secara bersamaan karena konteks ayat tidak menolak salah satunya. Perumpamaan “keledai liar yang lari dari قَسْوَرَة” menggambarkan perilaku orang kafir yang menolak dakwah dan berpaling dari kebenaran.

Baik singa maupun pemburu (pemanah) sama-sama menimbulkan rasa takut dan membuat keledai liar berlari menjauh. Karena itu, penggunaan lafaz قَسْوَرَة dalam bentuk nakirah (tanpa alif-lam) memungkinkan makna yang lebih luas: segala sesuatu yang menimbulkan ketakutan.

Dengan demikian, keindahan makna semakin kuat: kaum kafir digambarkan sebagai makhluk yang lari dari segala bentuk upaya menyelamatkan mereka — baik yang datang dengan kelembutan seorang da‘i, maupun dengan ketegasan seorang mujahid. Mereka melihat semua bentuk seruan kepada Allah sebagai ancaman, karena kebenaran yang dibawa bertentangan dengan hawa nafsu mereka.


3. Keluasan Makna dan Keharmonisan Konteks (اتساع الدلالة)

Dari contoh-contoh di atas, dapat dipahami bahwa al-musytarak al-lafẓī dalam Al-Qur’an bukanlah sumber ambiguitas, melainkan sarana pengayaan makna (اتساع الدلالة).

Konteks (السياق) dalam ayat-ayat Al-Qur’an memiliki kemampuan luar biasa untuk menampung seluruh makna yang mungkin dari satu lafaz, selama makna-makna tersebut tidak saling bertentangan. Dengan demikian, keragaman makna menjadi tambahan makna, bukan pertentangan makna.

Fenomena ini menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi bahasa dan makna. Dalam satu kata, terkandung lapisan makna yang luas dan saling melengkapi, menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalam ilahi yang sempurna, mampu berbicara kepada setiap generasi dengan keluasan makna yang tak terbatas.


Kesimpulan

Konsep al-musytarak al-lafẓī dalam Al-Qur’an merupakan salah satu aspek penting dari إعجاز القرآن البياني (kemukjizatan linguistik Al-Qur’an).

Melalui lafaz seperti عَسْعَسَ dan قَسْوَرَة kita melihat bagaimana satu kata dapat mencakup dua makna yang tampak berbeda, tetapi bersatu dalam konteks makna ilahi. Hal ini menunjukkan keluasan semantik bahasa Arab dan kedalaman makna Al-Qur’an yang tak terbatas.

Dengan demikian, al-musytarak al-lafẓī tidak hanya memperindah gaya bahasa Al-Qur’an, tetapi juga membuka ruang tafsir yang lebih luas, menunjukkan bahwa setiap kata dalam Al-Qur’an mengandung hikmah dan pelajaran yang berlapis-lapis.

Wallāhu a‘lam.

Sumber: Ittisā' al-Ma'nā fī al-Qur'ān al-Karīm ad-Dalālah al-Mu'jamiyyah Namūdhajan, oleh 'Abd al-Hamīd Hindāwī

https://tafsir.net/article/5416/

Memahami Luasnya Makna al-Qur’an Melalui Konsep al-Musytarak al-Lafẓī
Ahmad Ubaidillah 21 Oktober 2025
Share post ini
Label
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar