Abstrak
Fenomena al-mutawāṭi’ (المتواطئ) merupakan salah satu aspek penting dalam kajian linguistik Al-Qur’an yang berkontribusi terhadap ittisā‘ al-dalālah (اتساع الدلالة) — atau keluasan makna dalam Al-Qur’an. Tidak seperti al-musytarak al-lafẓī (اللفظ المشترك) yang mengandung makna-makna berbeda, al-mutawāṭi’ adalah lafaz tunggal yang digunakan untuk berbagai objek berbeda namun memiliki kesamaan pada makna hakikinya. Tulisan ini mengkaji konsep al-mutawāṭi’ dalam Al-Qur’an dengan menyoroti beberapa contoh, seperti kata مَا dalam QS. Al-Ḥadīd [57]:1, serta konsep pembagian manusia dalam QS. Fāṭir [35]:32 dan penggunaan lafaz الذِّكْر dalam QS. Al-Baqarah [2]:152. Kajian ini menegaskan bahwa al-mutawāṭi’ menjadi sarana pengungkapan makna yang luas, padat, dan baligh, yang memperlihatkan aspek keindahan dan keajaiban bahasa Al-Qur’an.
Pendahuluan
Para ahli uṣūl al-fiqh membedakan antara dua fenomena linguistik penting dalam bahasa Arab, yaitu al-musytarak al-lafẓī (اللفظ المشترك) dan al-mutawāṭi’ (المتواطئ).
Adapun al-musytarak didefinisikan sebagai:
«اللفظ المشترك هو اللفظ الواحد الموضوع لعدّة معانٍ وضعًا أوّلًا»
(“Lafaz musytarak adalah satu kata yang diletakkan untuk beberapa makna sejak awal penetapannya.”)
Sedangkan al-mutawāṭi’ adalah lafaz yang digunakan untuk berbagai hal yang berbeda, namun bersatu dalam satu makna pokok yang menjadi asal penetapannya. Contohnya adalah kata لون (warna): hitam (سواد), putih (بياض), dan merah (حمرة) — semuanya disebut “warna” karena memiliki makna kesamaan dalam sifat yang menunjukkan warna, meskipun objeknya berbeda.
Contoh lainnya adalah kata رجل (laki-laki) yang dapat digunakan untuk berbagai individu seperti Zaid, Amr, atau Muhammad; serta kata جسم (benda) yang dapat mencakup langit, bumi, manusia, dan hewan — semua karena memiliki sifat bersama, yaitu memiliki berat dan menempati ruang.
Dengan demikian, nilai semantik dari al-mutawāṭi’ dalam Al-Qur’an terletak pada kemampuannya menampung makna yang luas melalui satu lafaz tunggal, sehingga mewujudkan i‘jāz (keindahan ringkas) dalam bahasa Al-Qur’an.
1. al-Mutawāṭi’ dan Konsep Umum (العموم) dalam al-Qur’an
Salah satu contoh paling jelas dari lafaz al-mutawāṭi’ adalah firman Allah ﷻ:
{سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ}
(“Bertasbih kepada Allah segala yang ada di langit dan di bumi”) — QS. Al-Ḥadīd [57]:1
Kata مَا dalam ayat ini bersifat mutawāṭi’, karena mencakup berbagai jenis makhluk: manusia, malaikat, hewan, dan benda mati (الجماد).
Makna مَا tidak terbatas pada satu jenis makhluk, melainkan menunjukkan semua entitas ciptaan Allah yang bertasbih kepada-Nya, baik secara lisan, perbuatan, maupun keadaan. Karena itu, para ahli uṣūl menyebut lafaz mutawāṭi’ sebagai bagian dari lafaz-lafaz umum (ألفاظ العموم), yang menunjukkan cakupan makna yang luas dengan satu ekspresi singkat.
Fenomena ini menggambarkan kemampuan bahasa Al-Qur’an untuk merangkum makna universal dalam bentuk yang sangat ringkas, selaras dengan prinsip al-balāghah fī al-ījāz (البلاغة في الإيجاز) — keindahan bahasa yang lahir dari keringkasan makna.
2. al-Mutawāṭi’ dan Keluasan Makna Moral dalam QS. Fāṭir [35]:32–33
Contoh lain dapat ditemukan dalam firman Allah ﷻ:
{ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ}
(“Kemudian Kami wariskan Kitab (al-Qur’an) kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami; di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan.”)
Ketiga istilah dalam ayat ini — ظالم لنفسه (orang yang menzalimi diri sendiri), مقتصد (orang yang pertengahan), dan سابق بالخيرات (orang yang berlomba dalam kebaikan) — merupakan contoh nyata dari lafaz-lafaz mutawāṭi’.
Masing-masing kategori tidak menunjuk pada satu individu atau kondisi tunggal, tetapi pada jenis manusia yang di dalamnya terdapat banyak ragam dan tingkatan. Misalnya:
- الظالم لنفسه mencakup mereka yang lalai dalam kewajiban atau melakukan dosa.
- المقتصد mencakup mereka yang melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan.
- السابق بالخيرات mencakup mereka yang menambah amal kebaikan di atas kewajiban.
Keindahan ayat ini terletak pada ijmāl (إجمال) — pengungkapan umum yang padat makna tanpa perlu menyebut setiap rincian individu atau perbuatannya. Hal ini sejalan dengan siyāq al-takrīm (سياق التكريم), yakni konteks kemuliaan dan anugerah, karena ayat tersebut berbicara tentang al-istifā’ (pemilihan Allah) dan mirāts al-kitāb (pewarisan kitab suci), bukan tentang celaan.
Maka, pengungkapan umum dengan lafaz mutawāṭi’ memperlihatkan keseimbangan antara keindahan bahasa dan ketinggian makna moral, di mana makna luas disampaikan melalui bentuk yang singkat dan selaras dengan konteks kemuliaan.
3. al-Mutawāṭi’ dan Keindahan Ijmāl dalam QS. Al-Baqarah [2]:152
Salah satu contoh paling indah dari keluasan makna melalui lafaz mutawāṭi’ terdapat dalam firman Allah ﷻ:
{فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ}
(“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepada kalian”) — QS. Al-Baqarah [2]:152
Kata الذِّكْر dalam ayat ini bersifat mutawāṭi’, karena mencakup berbagai bentuk dan cara mengingat Allah. Para ulama salaf memberikan berbagai penafsiran, di antaranya:
- اذكروني بطاعتي أذكركم برحمتي
(“Ingatlah Aku dengan ketaatan, niscaya Aku ingat kalian dengan rahmat-Ku”) - اذكروني بالثناء بالنّعمة أذكركم بالثناء بالطّاعة
- اذكروني بالشكر أذكركم بالثواب
- اذكروني بالدعاء أذكركم بالإجابة
Seluruh makna tersebut dapat diterima secara bersamaan karena semuanya kembali kepada satu makna asal, yaitu ketaatan dan hubungan spiritual dengan Allah. Oleh sebab itu, lafaz الذِّكْر di sini bukanlah musytarak (karena bukan makna yang saling bertentangan), melainkan mutawāṭi’, karena mencakup bentuk-bentuk “zikir” yang berbeda tetapi bersatu pada satu makna pokok: ketaatan dan ingatan kepada Allah dalam segala bentuknya.
Al-Jaṣṣāṣ dalam Aḥkām al-Qur’ān menjelaskan bahwa zikir dapat mencakup ucapan lisan, amal perbuatan, niat hati, renungan, bahkan doa. Maka, penggunaan lafaz tunggal اذكروني telah memuat seluruh makna itu dengan satu ungkapan padat yang menunjukkan keindahan balāghah Al-Qur’an.
Hal ini sesuai dengan kaidah Arab klasik yang menyatakan:
«البلاغة الإيجاز» — “Keindahan bahasa terletak pada keringkasan yang bermakna.”
Kesimpulan
Konsep al-mutawāṭi’ (المتواطئ) dalam Al-Qur’an merupakan manifestasi dari i‘jāz al-bayān (إعجاز البيان) — kemukjizatan retoris Al-Qur’an — yang menampilkan keluasan makna melalui ungkapan yang ringkas.
Berbeda dengan al-musytarak al-lafẓī yang memuat makna-makna berbeda, al-mutawāṭi’ menampung ragam makna yang bersumber dari satu akar konsep yang sama. Melalui fenomena ini, Al-Qur’an mampu menyampaikan pesan yang universal dan mendalam dengan susunan yang padat, elegan, dan fasih.
Dengan satu lafaz, terkandung keluasan makna yang mencakup banyak entitas, perbuatan, dan keadaan — sebagaimana firman-Nya:
{فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ},
yang dengan satu perintah sederhana memuat seluruh bentuk ketaatan dan penghambaan kepada Allah.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ittisā‘ al-dalālah (اتساع الدلالة) bukan sekadar ciri kebahasaan, tetapi juga bukti kemukjizatan Al-Qur’an yang abadi.
Wallāhu a‘lam.
Sumber: Ittisā' al-Ma'nā fī al-Qur'ān al-Karīm ad-Dalālah al-Mu'jamiyyah Namūdhajan, oleh 'Abd al-Hamīd Hindāwī
https://tafsir.net/article/5416/
Konsep al-Mutawāṭi’ dalam al-Qur’an al-Karīm